Malam tahun
baru pastilah diisi dengan satu agenda wajib: melihat kembang api. Tapi, karena
dari tahun ke tahun pesta kembang api yang saya nikmati hanyalah seputar jam
9-10 malam kemudian tidur dan terbangun pada pagi hari tanggal 1 dengan keadaan
yang biasa—maka pada tahun ini pun saya tidak begitu menginginkan malam tahun
baru yang amazing. Cukup menghabiskannya dengan kawan-kawan saja. Sederhana,
tapi bermakna. Toh, tahun baru yang terpenting bukan jalan-jalan dan
perayaannya, tapi resolusi yang perlu dibuat ^^
Setelah
seharian kemarin menggila di pantai tak bernama dan bakar-bakar ikan, hari ini
saya berencana untuk pergi ke Puudombo dan merayakan malam tahun baru di sana.
Memang, sudah ada undangan resmi dari para penghuni rumah agar kami datang.
Karena di kontrakan masih ada beberapa orang yang galau tidak ada acara, saya
bersama enam orang lainnya berangkat naik bemo ke Puudombo.
Sesampainya
di sana, kami memasak. Menunya adalah nasi kuning, ayam goreng, tumis
buncis, ikan bakar, sambal tomat, dan
kerupuk. Selesai memasak, kami pun bersih diri dan bersiap untuk doa. Kami doa bersama dengan Pak Haji.
Ada semacam sesaji yang terdiri atas dua nampan. Satu nampan berisi ayam goreng
dan nasi, sedangkan nampan lainnya berisi biskuit roma dan sirih pinang. Ada
juga teh dan kopi di masing-masing nampan. Kaleng berisi kemenyan yang baunya
harum tapi menyengat diletakkan tak jauh dari sesaji. Sesaji diletakkan di
tengah, di hadapan Pak Haji. Kami berkumpul mengelilingi sesaji. Pak Haji
memimpin berdoa selama kurang lebih 10 menit.
Selesai
berdoa, kami pindah rumah dan mulai pesta. Benar-benar makanan yang wow banget
lah. Enak iya. Kami semua makan dengan lahap. Eh, pas sedang makan, listrik
mati. Terpaksalah kami makan dalam kegelapan. Tak masalah, tetap nikmat ^^.
Kelar makan, kami mengobrol.
Jam sudah
menunjukkan pukul 9 malam ketika kami keluar rumah. Kami berencana untuk Gawi.
Gawi adalah nama tarian tradisional di area Ende. Gawi biasanya dilakukan saat
ada perayaan/pesta, semisal arisan pendidikan, ae petu, nikahan, orang
meninggal, bangun rumah, dsb. Apapun yang penting ada pesta, maka gawi pasti
akan dilakukan sambil mite alias begadang semalaman.
Musik sudah
diputar. Mama, kakak, dan beberapa tetangga sudah turun di tengah lapangan, menari
gawi. Saya tetap diam, memperhatikan. Well, sebenarnya, meskipun sudah beberapa
kali saya pergi ke pesta, saya tetap belum pernah melakukan gawi. Bukan apa-apa
sih, saya hanya malu saja untuk melakukan beberapa tarian tradisional. Malu
salah. Malu karena tidak sesuai dengan adat yang biasa. Setelah 1 jam, akhirnya
saya pun ikut bergabung dengan mereka. DIPAKSA. Dan, kami pun menggawi bersama.
Well, bisa dikatakan bahwa menggawi lebih mirip poco-poco Jawa. Gerakannya
cukup simpel.
|
Snapshot at New Year's Eve |
Setelah satu jam lebih menggawi, jam
sudah menunjukkan pukul setengah 11, artinya setengah jam lagi tahun akan
berubah. Maka, kami pun segera naik pick up untuk melihat keadaan kota pada
saat pergantian tahun. Pick up berjalan cepat menembus kegelapan malam. Hawa
dingin menyapa. Bau anyir pantai memenuhi udara. Dari kejauhan, tampak
titik-titik lampu di tengah samudra, menandakan adanya kehidupan di Pulau Ende.
Di sisi yang lain, tampak deretan lampu kelap-kelip dan gemerlap kembang api:
Kota Ende. Takjub. Pemandangan malam hari di Kota Ende memang berbeda dengan
kota-kota lain yang pernah saya datangi. Saya memang belum pernah melihat kota
di pinggir pantai, jadi melihat Ende di saat malam tahun baru merupakan hal
yang sangat berbeda.
Kota mulai
terlihat lebih dekat. Pick up berjalan dengan pelan namun pasti. Kembang api
mulai terlihat semakin dekat. Bunyi-bunyian musik mulai terdengar semakin
keras. Yap, salah satu keunikan dari Kota Ende adalah deretan sound system yang
diletakkan di pinggir jalan dan semua orang berjoget. Dentuman musik terdengar
hampir di sepanjang jalan. Ramai. Pick up semakin mendekati pusat kota. Kembang
api bersahut-sahutan dinyalakan.
Sampai di
pusat kota, banyak motor melakukan konvoi, menyalakan kembang api, dan
sebagainya. Di setiap perempatan terlihat seragam polisi yang berjaga,
mengamankan apabila terjadi hal-hal di luar batas.
Setelah 20
menit berputar dan melihat pemandangan yang memang benar-benar ramai—seolah
semua penduduk kota Ende keluar dari rumah, kami pun menuju ke Puudombo lagi.
Hari itu, saya mendapatkan pengalaman yang pasti hanya terjadi sekali seumur
hidup.
Ada beberapa
hal yang saya cermati dalam pesta perayaan tahun baru. Jika dibandingkan dengan
keadaan pesta tahun baru di Jogja, pemusatan pesta terjadi di hampir semua
sudut kota Ende. Berbeda, di Jogja pesta dipusatkan pada beberapa titik,
misalnya alun-alun, titik nol, mandala krida, atau tempat yang memang menjadi
spot acara. Jadi, ketika tahun berganti, akan ada hitungan mundur dan penyalaan
kembang api yang amazing secara bersama-sama. Di Ende, saya bahkan tidak tahu
dimana pusat acara dan kapan pergantian tahun terjadi karena semua kembang api
dinyalakan bersahutan.
Tapi, dari
tingkat kehebohannya, jelas Ende lebih heboh. Terutama karena hampir di setiap
sudut ada sound system yang dinyalakan dan banyak orang berjoget sampai pagi. Asyiknya
lagi, di Ende, keindahan malam tahun baru terlihat dari kejauhan, ketika
kembang api dinyalakan dan bayangannya memantul di samudra. Indah. Pasti dari
jalan Nangaba atau pulau Ende, keindahannya tampak wow banget.
Meski
demikin, keduanya memiliki keasyikan tersendiri, kok. Baik Jogja maupun Ende
memiliki keindahan tersendiri. Bagi saya, keduanya memiliki cerita
masing-masing. Saya pernah menikmati malam tahun baru di Jogja dari atas balkon
mandala krida. Di Ende, saya pernah menikmati malam tahun baru dari atas pick
up keliling kota. Keduanya pengalaman yang amazing.
Malam itu,
saya tidur jam 2 malam. Paginya, saya bangun terlimbat. Ini ceritaku, mana
ceritamu?
#satu tahun untuk selamanya, edisi malam tahun baru,
31 Desember 2013-1 Januari 2014