Empat tahun telah berlalu.
Empat tahun yang ternyata singkat sudah
berlalu. Rasanya baru kemarin aku wira-wiri Jogja-Bantul untuk mengurus
pendaftaran Seleksi Mandiri (SM) UNY 2008. Rasanya baru kemarin ketika aku
berteriak senang saat namaku ada di Kedaulatan Rakyat pagi itu. Rasanya baru
kemarin ketika aku mengikuti OSPEK—sendirian tanpa kawan. Rasanya baru kemarin ketika aku bergabung dalam HIMA, dan bertemu dengan dia. Rasanya baru kemarin
ketika aku menjalani hari-hari bersama dia: rapat, mading, buletin, artikel,
workshop, lomba, panitia ini dan itu, dsb. Rasanya baru kemarin ketika akhirnya
aku menjadi Kabid (Ketua Bidang) menggantikan dia. Rasanya baru kemarin ketika
akhirnya aku turun jabatan, menginjak semester 6. Rasanya baru kemarin ketika
menjalani KKN-PPL di SD P*rcobaan 1. Rasanya baru kemarin ketika kita menapaki
jalan di Semaki itu berdua. Rasanya baru kemarin menikmati masa-masa skripsi
yang haru, biru, sendu, suka, dan bahagia.
Alhamdulillah.
Dan hari ini aku menerima ijasahku. Aku dinyatakan
lulus. Aku diwisuda. Aku sudah bukan mahasiswa lagi.
Bukankah seharusnya aku bahagia dengan hari
ini?
Ya, dibandingkan dengan puluhan teman-teman
satu angkatanku yang belum lulus, sungguh, aku tak pantas untuk mengeluh. Namun,
apa yang barusan terjadi padaku memang di luar dari kuasaku.
Dia, Mas Hasbi, dia mengatakan masih sayang
padaku.
Padahal dia, Mas Hasbi, 3 bulan yang lalu
memutuskanku.
Dan sekarang, dia, Mas Hasbi, memintaku
untuk merajut cerita bersama kembali.
Apa yang harus ku jawab?
***
Mobil melaju menembus padatnya Jogja di
siang hari. Ponsel masih ku pegang. SMS dari Mas Hasbi masih terpampang di
layarnya. SMS itu dikirim sekitar 1 jam yang lalu, ketika aku masih ada di GOR
UNY. Tapi, SMS itu belum ku balas.
“Aku datang karena aku masih sayang kamu.
Aku tahu aku sudah jahat. Kamu mau kan maafin aku? Bila masih ada kesempatan,
aku ingin kita memperbaiki apa yang pernah terjadi di antara kita.”
Dan aku harus membalas apa, coba? Aku harus
bilang, iya kah, atau tidak kah?
Sebenarnya, aku sudah pernah memikirkan
kemungkinan ini. Dan selalu, jawabannya adalah ‘iya’. Cowok berhak untuk
memilih, cewek berhak untuk menolak. Dan tak ada alas an untuk menolak Mas
Hasbi. Meski ia begitu sering menyakitiku, tapi ia memberikan kebahagiaan yang
lebih besar lagi. Dan dia…kesempurnaan yang dia miliki, tak bisa ku cari
kelemahannya. Justru kelemahannya menjadi kesempurnaan di mataku.
Tapi…
Bagaimana kalau ia kembali menyakitiku? Membayangkan
hubungan yang akan jauh (dia di Temanggung dan aku di Bantul), pernikahan yang
akan semakin lama terjadi karena dia masih 23 tahun, dan hal yang lainnya,
sungguh menakutkan.
Tidak…itu semua di luar kuasa kami.
Solusi sementara dari tawarannya adalah
kami pacaran—dan itu adalah sesuatu yang saat ini bukan aku inginkan. Bisakah aku
menjalanai Long Distance Relationship? Bisakah aku hanya bertemua ia sebulan,
dua bulan, atau bahkan tiga bulan sekali? Bisakah kami bertahan dalam
tahun-tahun mendatang yang penuh ketidakjelasan? Apa ada jaminan bahwa hubungan
ini akan tertuju pada satu titik bernama pernikahan?
Aku mengamati jalanan mulai lenggang…sudah
memasuki daerah Bantul, kota kelahiranku. Di kursi depan, ku dengar Bapak dan
Ibuk bercakap tentang kuliah adikku. Di sampingku, adik semata wayangku sedang
asyik online. Di kursi belakang, ada Mbak dan pacarnya. Aku melihat Mas Rian
dan membayangkan bila aku berada dalam posisi sebagai Mbakku.
Tidak, semuanya terlalu rumit.
Semuanya di luar kuasaku atau Mas Hasbi.
Semuanya penuh ketidakjelasan.
Aku menutup mataku sejenak, merasa lelah,
dan tak terasa aku tertidur.
***
“Aku sudah memaafkan Mas Hasbi. Sungguh,
akupun masih (sangat) menyayagi Mas Hasbi. Tapi, maaf Mas Hasbi, aku masih
ingin menikmati masa-masa sendiriku untuk saat ini. Aku sudah 23 tahun dan di
usia 25 tahun aku akan menikah. Bila Mas Hasbi jodohku, maka datanglah 2 tahun
lagi. Bila bukan, maka masing-masing dari kita akan memiliki jodoh yang
terbaik. Maaf dan terimakasih.”
SMS itu ku kirim 3 jam kemudian.
Tak sampai 5 menit, Mas Hasbi sudah
membalasnya, “Amin. Ya, aku mengerti. Maaf dan terimakasih.”
Satu hari kemudian, aku membaca status
facebook-nya.
“Bila jodoh tidak akan kemana.”
Aku tersenyum.
“Ya Allah, jodohkanlah aku dengannya. Amin.”
#emmm...kok ending-nya tetap menggantung ya? hehe...