Jadi, cerita awalnya begini. Gue suka bertemu dengan banyak orang, (sedikit) diberi kepercayaan dan tanggungjawab, berada di antara sekumpulan orang-orang dan mendengarkan cerita mereka (tentu aja bukan gue yang jadi pusat pembicaraan), serta belajar bagaimana bersikap dengan orang lain. Gue saat itu bersikap sebagai seorang ‘bawahan’ yang kadang semangat, kadang males, kadang sok sibuk, kadang oke-oke diajak wira-wiri, kadang menghilang tanpa jejak selama beberapa waktu tapi muncul lagi dengan hal yang baru, dsb. Gue pernah mendapat pemimpin yang (agak) diktator, kalem, baik hati, sangat rajin, pemimpin apa-apa dikerjain sendiri, pemalu, dsb.
Dan gue ga pernah bermimpi sama sekali buat menjadi seorang pemimpin…
Well, helloww!!! Gue? Jadi pemimpin? Fiuh, mimpin diri sendiri aja ga becus, gimana bisa jadi pemimpin coba?
Tapi, seiring dengan berjalannya roda waktu (lebay), gue pun akhirnya mendapat kesempatan untuk menjadi seorang kepala divisi (sebutannya keren banget, padahal kerjaannya Cuma perintah sana-sini deh). Gue punya 6 orang staff dengan sifat yang nano-nano. Gue—dengan jujur—sangat bingung ketika mendapat sebuah amanat itu. Gimana gue harus bersikap? Pemarah, kalem, atau ngerjain semuanya sendiri?
Well, sebetulnya, gimana sih cara mereka melakukannya? Jadi yang keren gitu… (pikiran langsung melayang pada bu parmin ~_~ )
Akhirnya, jawaban gue terjawab di mata kuliah kepemimpinan pendidikan. Dalam mata kuliah itu, dibahas tentang gaya kepemimpinan situasional. Ada 4 gaya pemimpin untuk beberapa tipe bawahan (yang ga bakal gue bahas secara serius di sinih, males gilak). Sebenernya, gaya ini bisa diterapkan di segala situasi, tapi secara khusus, di kelas, gue mempelajari tentang praktik di sekolah dan kelas (secara gue guru SD kali).
Dan gue menemui kasus pertama gue secara nyata di kehidupan nyata (praktik langsung). Di organisasi yang sedang gue ikuti, yang secara ajaib gue menjadi juru pencatat di sana (itu tuh, yang ngurus cap, surat, tetek bengek, ttd, dan segalanya), ada sebuah masalah yang cukup krusial, yang udah mendarahdaging sejak 2 tahun kepengurusan berturut-turut. Masalah itu adalah kekurangloyalan para anggotanya untuk ikut membangun organisasinya.
Gue pernah mengalami menjadi anggota yang kayak gitu, yang ga pernah datang, alesan mulu, nongol pun ga, tapi urusan seneng2 (kadang) muncul, Cuma plonga-plongo ga jelas... Dan kalian tau gimana rasanya? Ga enak banget tauk. Di sms tiap minggu, diajak rapat, nolak dengan perasaan ga enak, sibuk cari alasan, boong sekenanya, ngerasa stupid, ga tau apa2, bodoh, dan sebagainya. Tapi, seorang pemimpin yang baik menyadarkan gue sehingga gue menjadi (agak) lurus. Dan gue menjadi seseorang yang cukup ‘luweh’ dengan pendapat orang lain, tapi berusaha memenuhi tanggungjawab (ceileh)=dalam urusan tertentu, hahaha…
Itu dia sosok pemimpin yang baik itu! Keren!
Gimana hasilnya? Gue belum tahu pasti, yang jelas…gue rasa hal ini cukup berhasil juga.
Jadi inti posting kali ini? Gue juga bingung kali…yang penting nulis aja deh, hahaha :D
Sharing diperlukan ^^
wah... padahal yang 4 gaya pemimpin, tampaknya menarik... :)
ReplyDeleteyaps, betul banget...harus dipahami banget cos sangat bermanfaat kalau udah terjun ke dunia kerja... :)
Delete