“Sudah, ini terakhir kalinya kamu bonceng aku. Aku nggak mau
lagi,” kata Tegar dengan keras. Dingin, kaku, tanpa ekspresi.
Seperti yang sudah-sudah, lidahku kelu, tak bisa mengatakan
apapun. Tapi, hatiku hancur. Dan sarafku merespon dengan cepat, kelenjar air
mataku mengeluarkan bulir-bulir air mata yang segera memenuhi pelupuk mataku.
Aku segera berpaling dan menuju ke kamar. Ku dengar motor
Tegar menderu menuju ke parkiran.
Ku buka pintu kamar dengan paksa, berusaha menenangkan debar
hatiku yang tak menentu dan tangis yang sudah entah sejak kapan mengalir. Bersyukur,
kedua teman sekamarku belum pulang, sehingga aku bisa leluasa menumpahkan air
mataku.
Ku tutup pintu kamarku. Tangisku pecah seketika.
***
Tegar adalah kekasihku. Pacar, itu yang selalu dikatakan
orang lain. Tahun ini adalah tahun keempat kami bersama. Bagiku, dia sudah
lebih dari sekadar pacar. Bagiku, dia adalah calon imamku. Ganteng, cerdas,
baik, sholeh, dan mampu menerimaku apa adanya. Mau menerima keluargaku yang
hanya seadanya. Mau menerimaku yang tidak sempurna. Tapi, seperti yang selalu
dikatakannya, ‘Bersamamu adalah melengkapi agar sempurna.’ Aku luluh.
Hubungan kami baik-baik saja, meskipun kami berstatus LDR
alias luar daerah relationship. Tahun pertama pacaran, kami masih kuliah, aku
di Jogja, ia di Solo. Tahun kedua dan ketiga, aku dan dia diterima bekerja di
luar pulau dalam satu yayasan. Dia bekerja di Bima sementara aku di Padang. Tahun
keempat, sekarang, kami terikat kontrak kuliah lagi di satu asrama yang sama. Setiap
hari kami bertemu. Ah, sungguh membahagiakan bisa menatap wajahnya setiap hari,
bertemu dengannya setiap hari, bercanda tawa dan mendengar senyumnya. Duhai
Pangeranku, betapa sempurnanya kamu. Betapa beruntungnya aku yang sekarang ada di sampingmu.
***
Ku tatap wajah Raisa yang tampak merah dengan lelehan air
mata yang membanjir. Dia terisak sesenggukan.
“Aku dan Mas Tegar saling sayang, Mbak,” tandas Raisa
diantara isaknya.
Kalimat terakhirnya menikamku. Aku sudah mendengar dari
banyak orang di asrama. Kalau Mas Tegar memang ada main dengan Raisa sejak di
Bima—karena mereka memang cukup dekat di sana. Tapi aku tak menyangka mereka
akan segamblang ini. Maksudku, aku dan Mas Tegar baik-baik saja selama ini. Mengapa
Mas Tegar tiba-tiba memutuskanku? Untuk wanita ini? Yang sekarang menangis di
hadapanku? Seolah meminta pengampunan dariku? Membenarkan setiap tindak-tanduk
mereka yang sama sekali tidak berperikemanusiaan? Salah apa aku? Mengapa aku
yang harus disakiti?
“Apa yang kamu harapkan, Rai?” jawabku dingin. Air mataku
sudah terlalu kering. Hanya hatiku yang serasa dicabik.
“Pergilah, tinggalkan aku sendiri, untuk saat ini,” jawabku
memalingkan wajahku.
Raisa masih sesenggukan. Ia telah mengaku dosa. Untuk saat
ini, dia tidak ada artinya bagiku. Dia dan Mas Tegar—mereka.
Raisa keluar dari kamarku. Ku tatap fotoku dan Mas Tegar
yang terpajang di meja belajarku. Foto satu bulan yang lalu ketika kami pergi
ke rumahnya. Sudah beberapa kali aku menginap di rumahnya—hanya sekadar
menginap saja. Ibu dan ayahnya sangat baik. Dalam frame itu, kami sangat
bahagia sekali. Sungguh berbeda dengan apa yang terjadi saat ini.
Mas Tegar, dimana janji-janji yang sudah kau katakana untuk
kita? Kita sudah membangun mimpi masa depan berdua. Mengapa semua gambaran itu
sekarang sudah menghilang? Apa salahku?
***
“Aku sudah tidak nyaman.”
“Salah apa aku, Mas?”
“Aku sudah tidak nyaman. Aku sudah menemukan orang lain. Berhenti
menghubungiku. Kita sudah tidak ada apa-apa lagi.”
SMS terakhirnya mencabik hatiku. Ku matikan ponselku. Kedua teman
sekamarku sudah tidur. Aku tak bisa tidur. Pikiranku melanglang. Lelah berpikir,
aku tertidur.
***
“Uwis, Nduk. Iki artine kowe lagi diuji. Sesuk bakal nemu
sek luweh apik timbang wonge. Sek penting ikhlas,” ujar Ibuk. Matanya berkaca-kaca.
(Arti: Sudahlah, Nak. Ini artinya kamu sedang diuji. Kelak, kamu akan menemukan
orang yang lebih baik dari dia. Yang penting ikhlas).
Rasa sakit hatiku karena diputus Mas Tegar seolah tidak ada
bandingannya dibandingkan rasa sakit hatiku mendengar ketegaran ibukku. Beliau
sudah terlanjur menaruh banyak harapan pada Mas Tegar, bahwa ia yang akan
mempersuntingku. Sekarang, semuanya tak berarti apapun lagi.
Aku hanya menangis sesenggukan.
***
Bersambung.
*) Terinspirasi oleh kisah masa silam dan kisah
masa kini. Dari berbagai kisah-kisah orang lain. Semoga bisa belajar dari
kisah-kisah ini.